Jakarta, CNBC Indonesia – Konsumsi mi instan di Indonesia meningkat menjadi 13,270 miliar bungkus dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 12,640 miliar bungkus. Hal ini diprediksi akan terus meningkat apalagi jika harga beras terus meningkat.
Sementara itu, data awal Panel Harga Pangan pagi ini, Kamis (9/2/2023 pukul 7.30 WIB) menunjukkan harga beras premium melonjak Rp 380 menjadi Rp 13.760 per kg dan beras naik Rp 580 menjadi Rp. 12.330 per kilogram.
Harga ini adalah rata-rata nasional di tingkat pengecer.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO) Ratna Sari Loppies mengatakan, kenaikan harga beras saat ini bisa memicu peningkatan konsumsi mi instan di Indonesia. Terutama oleh kelompok berpenghasilan rendah.
“Tidak apa-apa. Perekonomian dunia sedang menurun dan orang-orang berhemat. Beli sepiring nasi putih di warung, katakanlah Rp 5.000, tidak ada lauknya. Kalau mie instan sekarang berapa harganya, tinggal direbus, dimakan, kata Ratna kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (9/2/2023).
“Dan selama ini mengalir saja. Katanya jangan makan mie, orang tetap makan mie. Tidak ada yang terpencar-pencar,” tambahnya.
Yang penting, tambahnya, meski 100% gandum untuk tepung yang digunakan untuk membuat mi instan itu impor, komponennya hanya sedikit dalam satu bungkus mi instan.
“Kalau bicara local content, mulai dari minyak nabati, kemasan, tenaga kerja. Jadi harus dilihat secara keseluruhan,” kata Ratna.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Benih dan Teknologi Pertanian Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas mengakui, perubahan penggunaan beras menjadi tepung terigu di Indonesia sangat cepat.
Terbukti, kata dia, pada tahun 1970-an konsumsi pangan berbahan dasar gandum atau tepung terigu masih sekitar 3%. Saat itu, sekitar akhir tahun 1960-an, Indonesia mendapat bantuan dari Amerika Serikat. Dan itulah pertama kalinya orang Indonesia makan makanan berbahan dasar tepung terigu.
Kemudian pada tahun 2010 tingkat konsumsi mencapai sekitar 18,9% dan pada tahun 2021 telah mencapai 28% dari total kebutuhan pokok.
“Kalau ini terus berlanjut, tahun 2045 akan menjadi 50%. Karena harga terigu (tepung terigu) termasuk terigu murah di Indonesia. Sekarang naik, padahal sebelumnya hanya Rp 8.500-9.000 per kilogram. Sementara itu, untuk beras katakanlah beras premium, Rp 12.000-13.000 per kilogram,” kata Andreas.
“Itulah salah satu alasan beralih ke terigu. Faktor lainnya adalah kemudahan persiapan (pengolahan tepung dan nasi siap santap),” tambah Andreas.
Karena itu, dia meminta pemerintah menaikkan bea masuk (BM) impor gandum.
“Seiring waktu, konsumsi pangan kita tergantikan oleh 100% gandum impor. Saya sudah berkali-kali mengatakan kepada pemerintah untuk mengenakan tarif impor gandum. Indonesia terlalu terbuka, hampir semua tarif impor komoditas pertanian mendekati nol persen,” ujarnya. dia berkata.
“Dan ini semakin merugikan petani di Indonesia. Jadi prinsipnya jangan menekan harga beras, tapi naikkan tarif impor gandum. Jangan berpikir menurunkan harga beras petani karena itu akan mempercepat konversi ke gandum. Dan, HPP untuk gabah dengan harga Rp 4.200 masih jauh di bawah biaya produksi petani saat ini,” pungkas Andreas.
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Berikutnya
Aduh! Harga beras terus naik
(dce/dce)