Jakarta –
Ide ‘solar geoengineering’ atau menembakkan partikel stratosfer untuk mereduksi panas Matahari, telah lama dipandang sebagai upaya terakhir untuk mengatasi krisis iklim. Baru-baru ini, teknologi ini menjadi semakin serius.
Ya, semakin banyak ilmuwan yang mulai serius mempelajari kemungkinan itu, demikian dikutip The New Yorker detikINET.
Baru-baru ini, Gedung Putih mengumumkan rencana penelitian 5 tahun untuk mempelajari geoengineering, sebuah tanda bahwa ide tersebut bukan lagi fiksi ilmiah di tengah kenaikan suhu bumi yang cepat.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Bahkan dengan meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil, manusia masih dalam bahaya. Perjanjian Paris, yang diadopsi oleh 196 negara, sepakat untuk mencoba membatasi pemanasan global hingga maksimum 1,5 derajat Celcius.
Tetapi mencapai target itu terbukti hampir mustahil. Tak pelak lagi, semakin banyak peneliti beralih ke penyelidikan geoengineering sebagai upaya potensial. Caranya, aerosol sulfur dioksida dilepaskan ke stratosfer untuk menurunkan suhu.
Meskipun ada konsensus di antara para ahli bahwa ada kemungkinan kuat partikel-partikel ini dapat mendinginkan permukaan, efek sampingnya masih belum diketahui, terutama dalam skala global.
Bahkan di awal tahun 2022, sekelompok ilmuwan meminta PBB untuk mengawasi teknologi tersebut. “Efeknya mungkin berbeda di setiap wilayah, sementara pendinginan buatan akan lebih berpengaruh di beberapa area daripada yang lain,” kata mereka.
“Ada juga ketidakpastian tentang dampak pola cuaca regional, pertanian dan kebutuhan dasar makanan dan minuman,” tambah mereka.
Namun, tekanannya meningkat. “Geoengineering sebagai solusi, akan menjadi satu-satunya pilihan terakhir jika kita sebagai komunitas global terus seperti ini,” kata Anote Tong, mantan presiden Kiribati, sebuah negara pulau kecil yang sangat terpengaruh oleh kenaikan permukaan laut.
Tonton Video “Momen Gerhana Matahari Sebagian Di Atas Menara Eiffel”
[Gambas:Video 20detik]
(fyk/fyk)