Jakarta, CNN Indonesia —
Perdana Menteri Kuwait Syekh Ahmad Nawaf al-Sabah menyerahkan pengunduran diri kabinetnya kepada putra mahkota pada Senin (23/1) atau sekitar tiga bulan setelah diambil sumpahnya.
Media pemerintah melaporkan pengunduran diri itu menyusul perselisihan dengan anggota parlemen yang telah menjerumuskan negara Teluk yang kaya minyak itu ke dalam kelumpuhan politik.
IKLAN
GULIR UNTUK LANJUTKAN KONTEN
Majelis Nasional Kuwait adalah satu-satunya parlemen yang dipilih sepenuhnya di Teluk, tetapi telah berulang kali mengalami krisis antara eksekutif dan legislatif.
Pengunduran diri ini adalah kabinet ketiga yang dibentuk oleh Perdana Menteri Sheikh Ahmed Nawaf al-Ahmed Al-Sabah, putra penguasa negara berusia 85 tahun, sejak ia menjabat Agustus lalu.
Kantor berita resmi KUNA melaporkan bahwa perdana menteri mengajukan pengunduran diri kabinetnya kepada Putra Mahkota Sheikh Meshal al-Ahmad al-Jaber Al-Sabah.
“Pengunduran diri terjadi karena kebuntuan… pada berbagai masalah dengan otoritas legislatif,” kata kabinet dalam sebuah pernyataan, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Pengunduran diri itu membuat rencana anggota parlemen untuk meminta dua menteri tentang pengelolaan keuangan negara dan RUU keringanan utang yang akan memberikan pengampunan utang bagi warga Kuwait dibatalkan.
Anggota parlemen telah mendesak pemerintah untuk meloloskan RUU yang menurut menteri akan membebani negara. Awalnya, agenda bersama kedua menteri itu dijadwalkan berlangsung pada Selasa (24/1).
[Gambas:Video CNN]
Saleh Ashour, anggota parlemen, mengkritik pengunduran diri tersebut, menyebutnya sebagai “kemunduran dalam menghadapi masalah politik.”
“Akan lebih baik jika pemerintah menghadiri sidang parlemen,” dan menghadapi pertanyaan, katanya kepada AFP.
Pemerintah keenam tiba hanya dalam tiga tahun, setelah dilantik pada Oktober 2022. Mereka ditunjuk untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas mereka, setelah oposisi memperoleh keuntungan besar dalam pemilihan parlemen.
Pada September 2022, Kuwait akan mengadakan pemilu keenamnya dalam satu dekade, yang sekali lagi akan menghasilkan parlemen yang dipimpin oposisi.
Oposisi sering menuduh menteri dari keluarga kerajaan salah urus dan korupsi.
(AFP/Kris)